Panama Papers (terjemahan
bebas: Dokumen Panama) adalah
kumpulan 11,5 juta dokumen rahasia yang dibuat oleh penyedia jasa
perusahaan asal Panama, Mossack Fonseca.
Dokumen ini berisi informasi rinci mengenai lebih dari 214.000 perusahaan luar negeri,
termasuk identitas pemegang saham dan direkturnya. Dokumen tersebut
mencantumkan nama pemimpin lima negara — Argentina,
Islandia,
Arab Saudi,
Ukraina,
dan Uni Emirat Arab — serta pejabat pemerintahan, kerabat
dekat, dan teman dekat sejumlah kepala pemerintahan sekitar 40 negara lainnya,
termasuk Brasil,
Cina,
Perancis,
India,
Malaysia,
Meksiko,
Malta, Pakistan, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, Suriah, dan Britania Raya.
Sementara Amerika Serikat tidak ada karena Amerika Serikat sendiri memiliki
beberapa negara bagian yang sudah dianggap sebagai surga pajak seperti
Delaware, Nevada, dan Kepulauan Virgin. [4]
Rentang
waktu dokumen ini dapat ditelusuri hingga tahun 1970-an. Dokumen berukuran 2,6 terabita
ini diberikan oleh seorang sumber anonim kepada Süddeutsche Zeitung pada bulan Agustus 2015 dan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Dokumen bocoran ini kemudian
disebarkan kepada dan dianalisis oleh kurang lebih 400 wartawan di 107
organisasi media di lebih dari 80 negara. Laporan berita pertama berdasarkan
dokumen ini bersama 149 berkas dokumennya diterbitkan pada tanggal 3 April
2016. Daftar lengkap perusahaan yang terlibat akan dirilis pada awal Mei 2016.
Mossack Fonseca adalah badan hukum
dan penyedia jasa perusahaan asal Panama yang didirikan tahun 1977 oleh Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca.[8][9] Perusahaan ini
menyediakan jasa pembentukan perusahaan di negara lain, pengelolaan perusahaan
luar negeri, dan manajemen aset. Perusahaan ini memiliki lebih dari 500
karyawan di 40 negara. Badan ini beroperasi atas nama lebih dari 300.000
perusahaan yang kebanyakan terdaftar di Britania Raya atau surga pajak milik Britania.
Mossack Fonseca bekerja sama dengan
lembaga-lembaga keuangan terbesar di dunia seperti Deutsche Bank, HSBC, Société Générale, Credit Suisse, UBS, dan Commerzbank. Badan ini kadang
membantu nasabah bank tersebut membangun struktur yang rumit sehingga kolektor
pajak dan penyidik sulit melacak arus uang dari satu tempat ke tempat lain.
Sebelum kebocoran Panama Papers, majalah The Economist menyebut Mossack
Fonseca sebagai pemimpin industri keuangan luar negeri "penuh
rahasia".[11] Walaupun begitu
Jaringan Keadilan Pajak (Tax Justice Network) asal Inggris saat
menerbitkan Indeks Kerahasiaan Finansial[12] mengemukakan bahwa
Panama merupakan peringkat ke-13 sebagai surga pajak dibawah Swiss, Hong Kong,
dan Amerika Serikat.[4]
Bocoran ini terdiri dari 11,5 juta
dokumen yang diterbitkan antara tahun 1970-an dan awal 2016 oleh Mossack Fonseca dari Panama. The
Guardian menjulukinya "badan hukum luar negeri terbesar keempat di
dunia". Data berukuran 2,6 terabita ini mencantumkan nama 140 badan luar
negeri yang memiliki hubungan dengan pejabat negara. Bocoran dokumen ini
dianalisis oleh wartawan di 80 negara. Gerard Ryle, direktur International Consortium of
Investigative Journalists, memperkirakan bahwa bocoran ini akan menjadi "kejutan
terbesar bagi industri ekonomi bawah tanah" karena jumlah dokumen yang
dibocorkan sangat banyak.
Tokoh
Laporan awal menyebutkan hubungan uang
dan kekuasaan antara beberapa tokoh politik ternama dan kerabatnya. Presiden Argentina Mauricio Macri tercantum sebagai
direktur perusahaan dagang Bahama. Ia tidak mengungkapkan hal ini ketika masih
menjabat wali kota Buenos Aires; saat itu belum
jelas apakah jabatan direktur non-pemegang saham perlu diungkapkan ke publik.[15] The Guardian
melaporkan bahwa bocoran ini mengungkapkan hubungan konflik kepentingan yang besar antara
seorang anggota FIFA Ethics Committee dan mantan wakil presiden FIFA Eugenio Figueredo.
Beberapa pemimpin negara disebutkan
dalam Panama Papers, termasuk Presiden Argentina Mauricio Macri, Khalifa
bin Zayed Al Nahyan
dari Uni Emirat Arab, Petro Poroshenko dari Ukraina, Raja Salman dari Arab Saudi, dan
Perdana Menteri Islandia Sigmundur
Davíð Gunnlaugsson.
Selain itu, ada pula mantan Perdana Menteri Georgia (Bidzina Ivanishvili), Irak (Ayad Allawi), Yordania (Ali Abu al-Ragheb), Qatar (Hamad bin Jassim bin Jaber Al Thani), dan Ukraina (Pavlo Lazarenko), serta mantan Presiden Sudan Ahmed al-Mirghani dan Emir Qatar Hamad
bin Khalifa Al Thani.
Presiden Ukraina Petro Poroshenko berjanji kepada
masyarakat bahwa ia akan menjual perusahaan permennya, Roshen, saat mencalonkan diri tahun 2014. Bocoran dokumen justru
menunjukkan bahwa ia malah mendirikan perusahaan holding luar negeri untuk
memindahkan bisnisnya ke Kepulauan Virgin Britania Raya. Atas tindakan
tersebut, ia mampu menghindari pajak di Ukraina senilai jutaan dolar Amerika
Serikat.
Pejabat pemerintahan beserta kerabat
dekat dan teman dekat berbagai kepala pemerintahan dari kurang lebih 40 negara
juga tercantum, termasuk pejabat pemerintah Aljazair, Angola, Argentina,
Azerbaijan, Botswana, Brasil, Kamboja, Chili, Cina, Republik Demokratik Kongo,
Republik Kongo, Ekuador, Mesir, Perancis, Ghana, Yunani, Guinea, Honduras, Hongaria,
Islandia, India, Israel, Italia, Pantai Gading, Kazakhstan, Kenya, Malaysia,
Meksiko, Maroko Malta, Nigeria, Pakistan, Panama, Peru, Polandia, Rusia,
Rwanda, Arab Saudi, Senegal, Afrika Selatan, Spanyol, Suriah Taiwan, Britania
Raya, Venezuela, dan Zambia. Meski awalnya dinyatakan bahwa Panama Papers tidak
mencantumkan warga negara Amerika Serikat,[18]
pernyataan tersebut terbukti salah.
Nama Vladimir Putin "tidak muncul
di catatan manapun" menurut The Guardian, tetapi surat kabar ini
menerbitkan artikel utama tentang tiga teman Putin yang namanya tercantum. The
Guardian menulis bahwa keberhasilan bisnis teman-teman Putin "tidak
mungkin terjadi tanpa arahan dari Putin sendiri".[20] Misalnya, surat
kabar ini mengutip Sergei Roldugin yang disebut-sebut
sebagai "sahabat baik" Putin. Rodulgin adalah pemain cello konser dan
sudah mengaku bukan pebisnis. Akan tetapi, Rodulgin "memegang serangkaian
aset bernilai sedikitnya $100 juta, bahkan lebih."
Perdana
Menteri Islandia Sigmundur
Davíð Gunnlaugsson
Data ini juga menunjukakn bagaimana
Perdana Menteri Islandia Sigmundur
Davíð Gunnlaugsson
memiliki aset rahasia di bank-bank gagal Islandia yang disembunyikan di balik
perusahaan luar negeri. Bocoran dokumen menyebutkan bahwa ia bersama istrinya
membeli perusahaan luar negeri Wintris Inc. pada tahun 2007. ICIJ menyatakan
bahwa mereka membelinya "dari Mossack Fonseca lewat cabang Landsbanki di Luksemburg, satu
dari tiga bank terbesar di Islandia".[21]
Ia tidak mencantumkan aset tersebut dalam pernyataan kekayaannya saat terpilih
sebagai anggota parlemen tahun 2009. Delapan bulan kemudian, ia menjual 50%
sahamnya di Wintris kepada istrinya dengan seharga $1. Gunnlaugsson dituntut
mengundurkan diri, namun ia mengumumkan lewat siaran langsung bahwa ia tidak
akan mundur karena pengungkapan Panama Papers. Ia menyebut Panama Papers
"bukan hal baru".[22] Gunnlaugsson mengaku
tidak melanggar hukum apapun, dan istrinya tidak diuntungkan oleh keputusannya.
Tokoh terkenal yang berhubungan dengan
badan sepak bola dunia, FIFA, adalah mantan
Presiden CONMEBOL Eugenio Figueredo, mantan Presiden UEFA Michel Platini,[23] mantan Sekretaris
Jenderal FIFA Jérôme Valcke,[23] dan mantan
pesepakbola Argentina Lionel Messi. Pemeran India Amitabh Bachchan dan Aishwarya Rai
Bachchan
juga tercantum dalam Panama Papers menurut The Indian Express .[24]
Perusahaan
Mossack Fonseca mengelola banyak
perusahaan selama bertahun-tahun. Jumlah perusahaan aktif yang dikelola
mencapai puncaknya, 80.000 perusahaan, pada tahun 2009. Lebih dari 210.000
perusahaan di 21 negara muncul di Panama Papers. Lebih dari separuhnya
didirikan di Kepulauan Virgin Britania Raya dan sisanya di
Panama, Bahama, Seychelles, Niue, dan Samoa. Selama
sekian tahun, Mossack Fonseca menangani klien di lebih dari 100 negara;
sebagian besar perusahaan berasal dari Hong Kong, Swiss, Britania Raya,
Luksemburg, Panama, dan Siprus. Mossack Fonseca bekerja sama dengan lebih dari
14.000 bank, badan hukum, notaris, dan pihak lainnya untuk mendirikan
perusahaan, yayasan, dan trust sesuai pesanan klien. Lebih dari 500 bank
mendaftarkan hampir 15.600 perusahaan cangkang bersama Mossack Fonseca. HSBC dan rekan-rekannya mendirikan lebih dari 2.300 perusahaan
cangkang. Dexia (Luksemburg), J. Safra Sarasin (Luksemburg), Credit Suisse (Kepulauan Channel),
dan UBS (Swiss) masing-masing mengajukan
pendirian kurang lebih 500 perusahaan cangkang untuk kliennya,[25] sedangkan Nordea (Luksemburg)
mengajukan pendirian 400 perusahaan.[26]
Bocoran
Lebih dari satu tahun sebelum dokumen
Panama dibocorkan,[27]
surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung menerima dokumen
terkait Mossack Fonseca dari satu sumber anonim. Harian ini mulai menerima
material dalam jumlah besar; dalam kurun satu tahun, mereka memperoleh data
berukuran 2,6 terabita berisi dokumen Mossack Fonseca[1] tentang 214.488
perusahaan luar negeri milik pejabat pemerintahan.[28] Bocoran ini terdiri
dari 11,5 juta dokumen yang dibuat antara tahun 1970-an dan akhir 2015
oleh Mossack Fonseca.[13]
Para wartawan berkomunikasi dengan
sumber lewat saluran terenkripsi[29]
karena ia ingin identitasnya tidak diketahui:[30] "Ada dua
syarat. Nyawa saya terancam. Obrolan kita harus terenkripsi. Kita tidak boleh
bertemu sama sekali." Wartawan Süddeutsche Zeitung Bastian
Obermayer menyatakan bahwa sumbernya memutuskan untuk membocorkan dokumen
tersebut karena ia menganggap Mossack Fonseca bertindak secara tidak etis.
Menurutnya, "sumber mengira bahwa kantor hukum di Panama ini membahayakan
dunia, dan sumber ingin mengakhirinya. Itu salah satu motivasinya."[30]
International Consortium of
Investigative Journalists memimpin penelitian dan peninjauan dokumen. Mereka
mengerahkan wartawan dan staf The Guardian, BBC England, Le Monde, SonntagsZeitung, Falter, dan La Nación serta stasiun TV Jerman Norddeutscher Rundfunk dan Suddeutscher Rundfunk dan stasiun TV Austria ORF. Tim wartawan awalnya bertemu di Munich, Lillehammer,
London, dan Washington, D.C., untuk menyusun penelitian mereka.[31] Datanya kemudian
disebarkan dan dianalisis oleh kurang lebih 400 wartawan di 107 organisasi
media di lebih dari 80 negara.[13] Setelah lebih dari
satu tahun, laporan berita pertama berdasarkan dokumen ini beserta 149 berkas
dokumennya[32]
diterbitkan tanggal 3 April 2016.[1] Daftar lengkap
perusahaan yang terlibat akan dirilis pada awal Mei 2016.[7]
Ukuran dokumen yang dibocorkan ini
mengalahkan Wikileaks Cablegate (1,7 GB),[33] Offshore Leaks (260 GB), Lux Leaks (4 GB), dan Swiss Leaks (3,3 GB). Data bocoran ini
terdiri dari surat elektronik, berkas PDF, foto, dan berkas pangkalan data
internal Mossack Fonseca. Semua data diterbitkan mulai tahun 1970-an sampai
musim semi 2016.[1] Panama Papers
mencantumkan nama 214.000 perusahaan. Terdapat folder untuk setiap perusahaan
cangkang (shell company) yang berisi surel, kontrak, transkrip, dan
dokumen pindaian.[1] Bocoran ini terdiri
dari 4.804.618 surel, 3.047.306 berkas format pangkalan data, 2.154.264 PDF,
1.117.026 foto, 320.166 berkas teks, dan 2.242 berkas berformat lain.[1]
Semua data ini harus diindeks secara
rapi. Pengindeksan dilakukan menggunakan perangkat lunak berbayar bernama Nuix yang juga dipakai
oleh para penyidik internasional. Dokumen menjalani proses OCR oleh komputer berkecepatan tinggi agar datanya dapat dibaca
dan dicari secara digital. Daftar tokoh penting diperiksa ulang dengan dokumen yang
diproses tadi.[1]
Tahap selanjutnya adalah menghubungkan tokoh, peran, arus uang, dan keabsahan
strukturnya.[1]
Tanggapan Mossack
Fonseca
Menjawab pertanyaan The Miami Herald dan ICIJ, Mossack Fonseca merilis
pernyataan pers sepanjang 2.900 kata. Intinya, Mossack Fonseca mengakui adanya
rezim hukum dan kepatuhan di seluruh dunia yang membatasi kemampuan individu
untuk memanfaatkan perusahaan luar negeri sebagai sarana menghindari pajak dan
merahasiakan identitas. Mossack Fonseca secara spesifik mengutip protokol FATF (bagi perusahaan dan
lembaga keuangan di sebagian besar negara di dunia) yang mewajibkan identitas
pemilik sejati semua perusahaan (termasuk perusahaan luar negeri) sebelum
membuka rekening dan melakukan transaksi bisnis.
Dalam catatan redaksi, The Miami
Herald menulis bahwa pernyataan Mossack Fonseca "tidak membahas
kegagalan uji tuntas yang diungkap para wartawan".[34]
Pada tanggal 4 April 2016, Mossack
Fonseca mengeluarkan pernyataan berikut: "Masyarakat tidak begitu paham
dengan industri kami. Sayangnya, rentetan artikel berita seperti ini hanya akan
membuat masyarakat bingung. Kenyataannya seperti ini: meski kami menjadi korban
pencurian data, tak satupun dokumen yang diperoleh secara ilegal ini
menunjukkan bahwa tindakan kami ilegal, dan kenyataan ini sesuai dengan
reputasi global yang telah kami bangun selama 40 tahun terakhir di Panama.
Tidak ada orang yang bersedia barangnya dicuri, dan kami berusaha sebisa
mungkin agar pihak yang melakukannya dihukum seadil-adilnya. Sementara itu,
kami akan tetap melayani para klien kami dan membantu masyarakat di lingkungan
kantor cabang kami di seluruh dunia seperti biasa." Pendiri Mossack Fonseca,
Ramón Fonseca Mora, mengatakan kepada CNN bahwa informasi yang diterbitkan penuh kesalahan dan pihak
yang dikutip ICIJ "bukan dan tidak pernah menjadi klien Mossack
Fonseca." Firma ini merilis tanggapan yang lebih panjang kepada ICIJ.[35]
Dalam sebuah wawancara, Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca,
mengatakan: "Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang kami harus menangani
dampaknya."[36]
Dampak
Gerard Ryle, direktur International Consortium of
Investigative Journalists, mengatakan bahwa bocoran ini adalah "kejutan terbesar
bagi industri ekonomi bawah tanah karena jumlah dokumen yang dibocorkan sangat
banyak."[14] Bocoran ini dijuluki
sebagai "bocoran terbesar dalam sejarah jurnalisme data" oleh Edward Snowden.[37]
Micah White, pendiri Occupy, mengatakan, "Ini adalah
kesempatan baru untuk menguji keberhasilan aktivisme bocoran (leaktivism).
... Panama Papers diteliti oleh ratusan wartawan internasional tepercaya yang
telah merahasiakannya selama satu tahun. Inilah profesionalisasi leaktivisme
global. Bocoran amatir ala WikiLeaks sudah ketinggalan zaman."[38]
Dana Moneter Internasional
memperkirakan pada Juli 2015 bahwa perubahan laba oleh perusahaan multinasional
merugikan negara-negara berkembang sebesar $213 miliar (UGX710 triliun) per
tahun, hampir 2% pendapatan nasional mereka.[39]
Ramon Fonseca mengatakan bahwa bocoran
ini bukan "kerjaan orang dalam" dan peladen (server)
perusahaan ini diretas dari luar negeri. Mossack Fonseca telah mengajukan keluhan
kepada jaksa umum Panama.[40]
Lebih dari 800 nama pejabat dan
politisi dunia yang tercantum namanya dalam Panama Papers memiliki bisnis
offshore di negeri surga pajak.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat bahwa Panama Papers adalah puncak gunung es dari segala permasalahan pajak di dunia, khususnya Indonesia.
Menurut Prastowo, setidaknya ada tiga alasan para pebisnis tersebut memilih membangun bisnisnya di negara tax havens.
Pertama, pengusaha memang murni melakukan aksi korporasi di Panama. Biasanya, lanjut Prastowo, mereka memilih negara tax havens karena administrasinya mudah. Apalagi jika digunakan untuk menjual obligasi, membeli saham, atau melakukan ekspansi bisnis.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat bahwa Panama Papers adalah puncak gunung es dari segala permasalahan pajak di dunia, khususnya Indonesia.
Menurut Prastowo, setidaknya ada tiga alasan para pebisnis tersebut memilih membangun bisnisnya di negara tax havens.
Pertama, pengusaha memang murni melakukan aksi korporasi di Panama. Biasanya, lanjut Prastowo, mereka memilih negara tax havens karena administrasinya mudah. Apalagi jika digunakan untuk menjual obligasi, membeli saham, atau melakukan ekspansi bisnis.
"Selain administrasinya mudah,
pengusaha juga mempertimbangkan kerahasiaan yang terjamin serta untuk
antisipasi kebangkrutan," kata Prastowo dalam diskusi di Menteng, Jakarta,
Sabtu, 9 April 2016.
Kedua, menurut Prastowo, para pengusaha memang membangun bisnis mereka di sana untuk menghindari pajak, sehingga perusahaan bisa lebih efisien. Karena, mereka hanya dibebankan biaya pajak yang murah.
Ketiga, pengusaha tersebut mendirikan bisnis di Panama atau negara tax havens lainnya secara sengaja untuk menyembunyikan aset dari hasil bisnis ilegal, seperti korupsi. Menurut Prastowo, motof ini jelas melanggar hukum. Dia juga mendiga motif ini banyak dilakukan oleh pengusaha, politisi, dan pejabat Indonesia.
"Ini adalah modus dari pengusaha untuk menyembunyikan uangnya dengan menyimpan di negara tax havens. Selain aman juga tidak kena pajak," katanya.
Prastowo menambahkan, untuk mengetahui motif masing-masing pengusaha yang namanya tercantum dalam Panama Papers, Direktorat Jenderal Pajak perlu menguji terlebih dahulu untuk mengetahui pasti apakah pengusaha teraebut melanggar hukum atu tidak.
"Caranya bisa dengan mencari tahu aktivitas bisnis perusahaan-perusahaan itu. Jika tidak ada, maka itu bisa diindikasikan praktik tax evasion dan dapat dikenakan sanksi," ujar Prastowo.
Kedua, menurut Prastowo, para pengusaha memang membangun bisnis mereka di sana untuk menghindari pajak, sehingga perusahaan bisa lebih efisien. Karena, mereka hanya dibebankan biaya pajak yang murah.
Ketiga, pengusaha tersebut mendirikan bisnis di Panama atau negara tax havens lainnya secara sengaja untuk menyembunyikan aset dari hasil bisnis ilegal, seperti korupsi. Menurut Prastowo, motof ini jelas melanggar hukum. Dia juga mendiga motif ini banyak dilakukan oleh pengusaha, politisi, dan pejabat Indonesia.
"Ini adalah modus dari pengusaha untuk menyembunyikan uangnya dengan menyimpan di negara tax havens. Selain aman juga tidak kena pajak," katanya.
Prastowo menambahkan, untuk mengetahui motif masing-masing pengusaha yang namanya tercantum dalam Panama Papers, Direktorat Jenderal Pajak perlu menguji terlebih dahulu untuk mengetahui pasti apakah pengusaha teraebut melanggar hukum atu tidak.
"Caranya bisa dengan mencari tahu aktivitas bisnis perusahaan-perusahaan itu. Jika tidak ada, maka itu bisa diindikasikan praktik tax evasion dan dapat dikenakan sanksi," ujar Prastowo.
EBUAH
kebocoran dokumen finansial berskala luar biasa mengungkapkan bagaimana 12
kepala negara (mantan dan yang masih menjabat) memiliki perusahaan di yuridiksi
bebas pajak (offshore) yang dirahasiakan. Dokumen yang sama membongkar
bagaimana orang-orang yang dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengatur
transfer dana sebesar US$ 2 miliar lewat berbagai bank dan perusahaan bayangan.
Setidaknya ada 128 politikus dan pejabat publik dari seluruh dunia yang namanya tercantum dalam jutaan dokumen yang bocor ini. Mereka terkait dengan berbagai perusahaan gelap yang sengaja didirikan di wilayah-wilayah surga bebas pajak (tax havens).
Total catatan yang terbongkar mencapai 11,5 juta dokumen. Keberadaan semua data ini memberikan petunjuk bagaimana firma hukum bekerjasama dengan bank untuk menjajakan kerahasiaan finansial pada politikus, penipu, mafia narkoba, sampai miliuner, selebritas dan bintang olahraga kelas dunia.
Temuan itu merupakan hasil investigasi sebuah organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists, sebuah koran dari Jerman SüddeutscheZeitung dan lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia. Satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam proyek investigasi ini adalah Tempo.
Dokumen yang diperoleh konsorsium jurnalis global ini mengungkapkan keberadaan perusahaan di kawasan surga pajak (offshore companies) yang dikendalikan perdana menteri dari Islandia dan Pakistan, Raja Arab Saudi, dan anak-anak presiden Azerbaijan.
Ada juga perusahaan gelap yang dikendalikan sedikitnya 33 orang dan perusahaan yang masuk daftar hitam pemerintah Amerika Serikat karena hubungan sebagian dari mereka dengan kartel narkoba Meksiko, organisasi teroris seperti Hezbollah atau terkoneksi dengan negara yang pernah mendapat sanksi internasional seperti Korea Utara dan Iran.
Satu dari perusahaan itu bahkan menyediakan bahan bakar untuk pesawat jet yang digunakan pemerintah Suriah untuk mengebom dan menewaskan ribuan warga negaranya sendiri. Demikian ditegaskan seorang pejabat pemerintah Amerika Serikat.
"Temuan ini menunjukkan bagaimana dalamnya praktek yang merugikan dan kejahatan di perusahaan-perusahaan yang sengaja didirikan di yuridiksi asing (offshore)," kata Gabriel Zucman, ekonomis dari University of California, Berkeley, AS dan penulis buku 'The Hidden Wealth of Nations: The Scourge of Tax Havens'.
Zucman yang mengetahui proses investigasi kebocoran dokumen ini menegaskan bahwa publikasi atas dokumen rahasia ini seharusnya mendorong pemerintah untuk bekerjasama memberikan sanksi tegas pada yurisdiksi dan institusi yang terlibat dalam jejaring kerahasiaan finansial di dunia offshore.
Setidaknya ada 128 politikus dan pejabat publik dari seluruh dunia yang namanya tercantum dalam jutaan dokumen yang bocor ini. Mereka terkait dengan berbagai perusahaan gelap yang sengaja didirikan di wilayah-wilayah surga bebas pajak (tax havens).
Total catatan yang terbongkar mencapai 11,5 juta dokumen. Keberadaan semua data ini memberikan petunjuk bagaimana firma hukum bekerjasama dengan bank untuk menjajakan kerahasiaan finansial pada politikus, penipu, mafia narkoba, sampai miliuner, selebritas dan bintang olahraga kelas dunia.
Temuan itu merupakan hasil investigasi sebuah organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists, sebuah koran dari Jerman SüddeutscheZeitung dan lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia. Satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam proyek investigasi ini adalah Tempo.
Dokumen yang diperoleh konsorsium jurnalis global ini mengungkapkan keberadaan perusahaan di kawasan surga pajak (offshore companies) yang dikendalikan perdana menteri dari Islandia dan Pakistan, Raja Arab Saudi, dan anak-anak presiden Azerbaijan.
Ada juga perusahaan gelap yang dikendalikan sedikitnya 33 orang dan perusahaan yang masuk daftar hitam pemerintah Amerika Serikat karena hubungan sebagian dari mereka dengan kartel narkoba Meksiko, organisasi teroris seperti Hezbollah atau terkoneksi dengan negara yang pernah mendapat sanksi internasional seperti Korea Utara dan Iran.
Satu dari perusahaan itu bahkan menyediakan bahan bakar untuk pesawat jet yang digunakan pemerintah Suriah untuk mengebom dan menewaskan ribuan warga negaranya sendiri. Demikian ditegaskan seorang pejabat pemerintah Amerika Serikat.
"Temuan ini menunjukkan bagaimana dalamnya praktek yang merugikan dan kejahatan di perusahaan-perusahaan yang sengaja didirikan di yuridiksi asing (offshore)," kata Gabriel Zucman, ekonomis dari University of California, Berkeley, AS dan penulis buku 'The Hidden Wealth of Nations: The Scourge of Tax Havens'.
Zucman yang mengetahui proses investigasi kebocoran dokumen ini menegaskan bahwa publikasi atas dokumen rahasia ini seharusnya mendorong pemerintah untuk bekerjasama memberikan sanksi tegas pada yurisdiksi dan institusi yang terlibat dalam jejaring kerahasiaan finansial di dunia offshore.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar